31 Juli 2007

Momen Layangan











Beberapa gambar yang berhasil kami jepret.
Lokasi: Pantai Purnama Sukawati.
Waktu: 28 Juli 2007.

Tragedi P212 dan P222


Om Swastyastu,

Sukawati Pagi, 28 Juli 2007 serasa begitu dingin...Namun, semangat Sekaa Layangan STAD mampu menghangatkan balai Banjar Dlodpangkung.

Jam 9, diawali dengan persembahyangan bersama di Pura Ratu Sakti... Karena dadakan, kami hanya mampu menghaturkan canang. Berdoa agar kami yang melakukan perjalanan yang penuh kesenangan dan luapan emosi ini senantiasa dalam lindungan Hyang Widhi.

Jam 9.30 dua layangan tradisonal Pecukan pun digotong ke atas truk kuning. P222 berwarna dasar merah dan P212 berdasar warna putih dengan gagah nagkring di badan truk.

Tepat jam 10, kami menuju arena pertandingan di Pantai Purnama Sukawati. Iringan tabuh baleganjur menyemarakkan perjalanan kami...
Cukup 1/2 jam perjalanan kami, maklum jarak pantai cuma 4 km dari Banjar Dlodpangkung.
Dengan perlahan kami turunkan dua pecukan itu. Digotong beramai-ramai sampai bibir pantai. Posko sederhana beratapkan layang-layang dan anyaman daun kelapa pun dibuat. Cukup mampu menahan teriknya sinar mentari di kala itu.

Mungkin karena alasan angin kurang kencang, jadwal pertandingan akhirnya molor. Matahari pun telah sejajar badan dan akhirnya bendera hitam pun berkibar, pertanda pertandingan dimulai dengan mengudaranya Layangan Bebean. Namun, terlihat satu per satu layangan raksasa seukuran 2X truk fuso berjatuhan karena Sang Bayu belum berhembus kencang. Tabuh baleganjur dari masing-masing sekaa pun disuarakan untuk mengundang Sang Bayu.

Sejam kemudian, giliran Layangan Pecukan yang unjuk gigi. Salah satu layangan kami P212 mendapat giliran. Tali dibentangkan dan layangan digotong sampai ujung utara arena. Tabuh baleganjur pun kembali memeriahkan suasana dan memacu adrenalin para peserta. Angin berhembus lebih kencang dari sebelumnya dan layangan kami berhasil mengudara dengan baik. Ada satu kurangnya, "sing nyak ngonnyah!" Tali yang kebesaran jadi penyebabnya. Tapi ga mengapa, yang penting terbang dulu.

Setelah 15 menit mengudara, tiba-tiba ada pecukan semeton lain menyambar layangan kami dan akhirnya naplek dan mekilit, berdua menghujam bumi. Layangan kami tidak beruntung, rangkanya patah! Sedangkan, layangan semeton lain nyaris tanpa cidera. Kita tidak boleh emosi karena inilah salah satu resiko melayangan.

Langkah demi langkah kita kembali ke posko. Empat dus air Aqua dan empat kresek nasi bungkus berlauk ayam suir, saur dan tempe menyambut kelelahan kami. Masih tersisa harapan, P222 yang merah menyala. Sambil menunggu giliran, kami latihan menabuh baleganjur. Bocah-bocah the next generation of STAD pun ikut menabuh, menyemangati kakak-kakaknya yang letih melayangan.

Tepat pukul 16.30 WITA, P222 diumumkan untuk mengudara. Semeton yang layangannya diajak mekilit tadi dengan ikhlas menawarkan meminjamkan talinya yang ukurannya lebih kecil. Kami pun menerimanya dan membentangkan di arena. Hembusan angin jauh lebih lemah dari pada tadi siang. Bendera hitam pun dikibarkan. Dengan angin lemah kami mencoba mengudarakan P222, tapi gagal.

Setelah menunggu sekitar 10 menit, terasa hembusan angin yang lebih kencang dan akhirnya dengan mudah P222 terbang dengan onyahan yang memukau para juri! Tapi lagi-lagi kami tertimpa masalah, layangan tidak sanggup lama di udara dan akhirnya naplek, terjembab di darat dengan patah rangka yang parah.

Berbagai jenis emosi kekesalan terpancarkan dari wajah kami. Namun mau apa lagi, ya harus terima dengan lapang dada. Setiap perlombaan pasti ada yang kalah dan menang. Sampai jumpa Lomba Layangan tahun depan!

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.